Gone (Cerpen)
Mengapa penyesalan selalu datang pada
akhir cerita ? Aku mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Tuhan ingin
memberikan sebuah pelajaran berharga untuk umat manusia yang sebelumnya tidak akan mereka dapatkan layaknya mata
pelajaran yang menjadi kurikulum setiap sekolah. Dengan begitu manusia tidak
akan pernah lagi menyia-nyiakan waktu, seseorang atau yang lainnya di masa yang
akan datang. Dan seandainya penyesalan datang pada awal cerita, aku yakin tidak
akan ada yang namanya kesalahan maupun kejahatan yang terjadi di dunia ini.
Karena setiap umat manusia sudah tahu akibat yang akan mereka terima jika
melakukan kejahatan tersebut.
***
Lembayung senja dengan semburat jingga
menjadi background setiap tetes air langit yang turun secara bersamaan
sejak sepuluh menit yang lalu. Membentuk sebuah pemandangan yang sangat indah,
bukti bahwa Tuhan memang benar-benar
Maha Besar. Sayangnya pemandangan seindah ini tidak membuat suasana hati pemuda
itu membaik. Air langit itu menetes tidak beraturan. Untunglah tetesan-tetesan
itu tidak terlalu lebat. Hanya gerimis yang disertai angin kecil. Nyaris tiga jam pemuda ini duduk di depan teras
rumahnya menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Sepuluh bulan terakhir
ini dirinya memang sering melamun. Ia sangat terpuruk mengingat kejadian sebelas
bulan yang lalu. Bayang-bayang gadis itu selalu menghampirinya dimanapun ia
berada. “Rio..” Suara itu sudah tidak asing lagi bagi pendengaran Rio. Rika.
Wanita setengah baya itu memegang lembut pundak puteranya. Rio menoleh kepada
Ibunya. Ditatapnya Rika dengan sayu. Matanya menyiratkan bahwa dirinya sedang
dalam keadaan tidak baik. Rika tersenyum perih lalu mengusap lembut rambut Rio.
Tidak banyak yang dapat Rika lakukan untuk mengubah keadaan puteranya. Jika
hanya memberikan nasihat setiap hari rasanya tidak cukup. Rio pun tidak berubah
sama sekali. Tetap menjadi Rio yang pemurung dalam kehidupan nyata. “Masuklah.
Udara disini tidak baik bagi kesehatanmu..” Rika mengecup puncak kepala Rio
lalu kembali masuk ke dalam rumah.
Rio menghela nafas, disesapnya teh
manis hangat yang berada di atas meja. Walaupun hanya satu helai daun mint yang
ia masukkan kedalam teh manis hangatnya, tetap saja Rio dapat menghirup aroma khas
yang dihasilkan oleh daun itu. Rio berdecak, lantas ia menggelengkan kepalanya.
Tadi saat ia membuat teh ini, berapa
banyak gula yang ia masukkan ? Satu sendok ? Dua sendok ? Atau tiga sendok ?
Mengapa indra perasanya tidak meraskan rasa manis itu ? Malah hanya rasa hambar
yang dirinya rasakan. Ia kembali menghela nafas lantas dirinya berdiri dan
berjalan dengan langkah gontai dengan membawa sebuah cangkir yang diletakkan diatas
permukaan piring kecil ke dalam rumah.
***
“Kau tidak dapat seperti ini terus
menerus, Rio. Bagaimanapun juga masa lalu tetaplah masa lalu. Kejadian itu
sudah terjadi sebelas bulan yang lalu. Dan kau tahu, itu hampir satu tahun.
Come on, Rio. Aku yakin dia pun akan merasa sangat sedih jika melihat kau
disini seperti mayat hidup yang kerjanya hanya melamun dan melamun..” Perkataan
sahabatnya ada benarnya juga. Ia tidak boleh seperti ini terus menerus, larut
dalam keterpurukan yang pada akhirnya tidak membawa perubahan apapun pada
kehidupannya. “Aku merindukan mu yang dulu, Rio. Bukan hanya aku. Tapi
keluargamu, Cakka, Alvin, bahkan Fauzi yang tidak menyukaimu pun merindukan mu
yang dulu. Kembalilah menjadi Aryo Kusuma Dwijaya yang dulu. Aku rela jika
sprei di kamarku berantakan saat kau menginap di rumahku. Aku rela jika kau
setiap hari menyalin hasil pekerjaan rumahku. Aku rela jika-” Gabriel menghela
nafas berat lalu melanjutkan perkataannya. “Aku rela jika hidung mancungku kau
tarik-tarik disaat kita memenangkan pertandingan basket. Aku rela melakukan
apapun demi merubahmu menjadi Rio sebelas bulan yang lalu..” Rio terkekeh
mendengar apa yang dikatakan Gabriel. Apakah dirinya begitu menyedihkan
sehingga orang-orang terdekat yang mengenalnya berpikiran seperti itu ? “Apakah
kau rela memberikan Sivia untukku, Gabriel ?” Gabriel menyeringai lalu memukul
pelan kepala Rio. Semuanya kecuali Sivia ! “Kau ini !” Untunglah dirinya
memiliki kesabaran yang begitu tebal. Jika tidak, Rio akan dimakan hidup-hidup
olehnya. “Tenanglah. Aku masih seperti dulu, Gabriel. Aku tetap Aryo Kusuma
Dwijaya. Memangnya kau kira aku ini hantu ?” Gabriel mendesis lantas ia
mengambil sebuah buku yang berada dihadapannya, lalu menjadikan buku itu
sebagai alat untuk membantu memukul kepala Rio -lagi-. “Bisakah kau tidak
memukul kepala ku satu hari saja, Gabriel ?” Rio memegang kepalanya yang
dijadikan target pukulan oleh Gabriel. Lama-kelamaan dirinya dapat mengidap
penyakit amnesia jika Gabriel selalu
memukul kepalanya dengan sangat keras. Gabriel tergelak melihat reaksi Rio
setelah ia memukul kepala Rio dengan meggunakan buku yang cukup tebal. Ini baru
Rio-ku !
“Jika kau ingin aku kembali menjadi
Rio yang dulu, bisakah kau membantu ku untuk melupakan masa lalu ku ? Terutama
tentang gadis itu ?” Gabriel sedikit tertegun dengan permintaan Rio. Melupakan
masa lalu tidak semudah yang dibicarakan orang-orang. Ia jadi teringat dengan lagu
salah satu band Indonesia. Liriknya sangat tepat dengan keadaan Rio saat ini.
‘Satu jam saja ku telah bisa cintai kamu dihati ku, namun bagiku lupakan mu
butuh waktu ku seumur hidup’. Bagaimanapun juga Rio tetap sahabatnya, walaupun sepuluh
bulan terakhir Gabriel merasa sangat kehilangan sosok Rio. Sekarang Gabriel
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan oleh Tuhan untuk mengembalikan
Rio yang dulu. Gabriel menghela nafas panjang lalu menganggukkan kepalanya
dengan tegas. “Iya, Rio. Aku akan membantumu sekuat yang aku bisa !” Rio
tersenyum mendengar penuturan Gabriel. Terima kasih Tuhan. Setidaknya aku masih
mempunyai sahabat sebaik dia.
***
“Waktu yang tepat untuk berubah adalah
sekarang, Rio.” Ah Cakka. Pemuda itu bersikap lebih dewasa sekarang, tidak
seperti dulu yang selalu menunjukkan sikap kekanak-kanakkannya. Mungkin juga
Cakka hanya berkamuflase untuk menutupi lara pada hatinya. Karena Cakka baru
saja putus dengan Oik, kekasih yang sangat dicintainya. Oik bermain api
dibelakang Cakka bersama Septian, seorang siswa pindahan dari Yogyakarta yang
masih memiliki darah keturunan Perancis. Dan yang lebih memilukan lagi, Septian
adalah sepupu Cakka. “Aku rasa kalimat itu juga sangat cocok untukmu, Cakka..”
Rio meneguk air yang berada didalam botol mineralnya lalu berjalan menghampiri
Gabriel dan Alvin yang sedang melakukan pemanasan sebelum berlatih basket.
Ada sesuatu yang membuat dada Cakka
terasa sesak. Perkataan Rio mengingatkan dirinya dengan Oik. Ya ! Waktu yang
tepat untuk berubah adalah sekarang. Cakka tersenyum pahit, lantas ia pergi
menyusul ketiga sahabatnya yang secara bersamaan sedang melakukan peregangan
otot.
***
“Permainanmu semakin bagus, Rio. Aku kira
sepuluh bulan tidak berlatih basket membuat permainan basketmu kaku. Ternyata
aku salah.” Alvin mengusap peluh yang berada pada permukaan wajahnya dengan
menggunakan handuk. Keempat pemuda itu sama-sama menghirup oksigen dengan
terengah. Alat vital yang bertugas untuk memompa darah didalam tubuh mereka pun sepertinya melakukan tugasnya dengan
hiperaktif. “Capek..” Gabriel bergumam kepada dirinya sendiri. Waktu tiga
puluh menit untuk berlatih basket dengan
ketiga sahabatnya terasa sangat singkat. Dan tentu saja salah satu penyebab
Gabriel merasakan hal itu adalah Rio. Gabriel sangat bersyukur karena Rio mau
bergabung kembali untuk bermain basket. Sejak sepuluh bulan yang lalu Rio
memutuskan untuk berhenti sementara dari tim basket SMA Dwi Cakrawala. Gabriel
sangat menyayangkan keputusan Rio, mengingat Rio adalah kapten dari tim basket
inti disekolah ini. Dan Rio mempercayakan Gabriel untuk menggantikannya
diposisi kapten. Keputusan itu pun disetujui oleh Pak Taufik, Pembina tim
basket SMA Dwi Cakrawala. Dan pada saat Rio mengatakan bahwa Rio akan bergabung
kembali dengan tim basket, Gabriel dengan antusias memperbolehkan Rio. Hal ini
pun ditanggapi dengan positif oleh anggota tim basket yang lain maupun Pak
Taufik.
“Ah sepertinya setelah sepuluh bulan tidak
melakukan olahraga ini membuatku lelah. Padahal dulu tidak selelah ini..” Rio
menghirup oksigen berulang-ulang, mengatur
deru nafasnya agar kembali normal seperti semula. “Maka dari itu,
perbanyaklah berlatih !” Tiba-tiba saja Cakka berujar menimpali perkataan Rio
seraya menepuk-nepuk pundak Rio. “Berlatih apa ? Berlatih untuk melupakan Oik
?” Rupanya Alvin menggoda Cakka. Alvin tergelak melihat ekspresi Cakka yang
tegang ketika dirinya menyebutkan nama Oik. “Lupakan dia, Cakka. Yah walaupun
berat mengatakan ini, aku rasa perempuan lain selain Oik masih banyak yang
menyukaimu !” Rio terkekeh mendengar celotehan dari sahabat-sahabatnya. Rio
merasa dirinya seperti baru saja berkenalan dengan ketiga sahabatnya. Semuanya terasa
sangat baru bagi Rio. Dan rio sangat merindukan suasana seperti ini. Lalu
kemana saja dirinya selama ini ? Ckck.
***
“Rio..” Gadis itu memanggil namanya
dengan nada suara yang sangat manja. Lagi dan lagi. Apakah tidak ada kegiatan
lain yang dilakukan gadis itu selain mengikuti kemanapun dirinya pergi ?
Sungguh itu benar-benar mengganggu aktivitasnya. “Berhentilah memanggil namaku
dengan nada seperti itu, Ify !” Rio memijat lengannya yang sedikit pegal, menghiraukan
perasaan Ify yang tersinggung karena ucapannya. Ah sepertinya itu lebih tepat
disebut perintah. Ify tersenyum kecut mendengar itu. Bukankah semuanya
membutuhkan proses ? Tentu saja didalam sebuah proses itu tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Cinta butuh perjuangan ! Ify meyakinkan dirinya
agar tidak menyerah untuk mendapatkan hati Rio.
“Baiklah..” Ify menganggukkan
kepalanya, lantas ia memberikan botol mineral kepada Rio. “Minumlah. Aku tahu
kau pasti haus dan lelah..” Rio mengangkat sebelah alis matanya lalu ia menatap
Ify dengan pandangan meremehkan. “Terima kasih. Tapi aku tidak memintamu untuk
memberiku minuman itu.” Jika Ify tidak memiliki kesabaran yang besar, mungkin
dirinya sudah seperti gadis-gadis lain yang dengan begitu saja meninggalkan Rio
sambil menangis tersedu-sedu menuju toilet ketika mendengar secara
terang-terangan Rio mengacuhkannya. Ify terkekeh lalu dengan santai duduk
disamping Rio. “Aku tahu. Aku tahu. Tetapi ini keinginanku, tuan Rio.” Rio
mendesis ketika dirinya mendengar penuturan Ify. Walaupun ia tahu Ify merupakan
salah satu dari penggemar fanatiknya, tetapi gadis ini berbeda. Rio tahu Ify
tidak pernah menyerah untuk mendapatkan perhatiannya. Tetapi Rio belum dapat
membuka hatinya, bahkan untuk mengetuk pintunya saja perlu tenaga ekstra. “Kau
tidak pernah menyerah..” Akhirnya Rio menerima botol mineral itu dari tangan
Ify lalu meminumnya dengan beberapa tegukkan.
Ify masih memperhatikan setiap
gerakkan yang dilakukan oleh pujaan hatinya. Walaupun Rio menerima botol
mineralnya dengan kasar, tetapi Ify tetap merasa bahagia. Setidaknya ia
selangkah lebih maju daripada teman-temannya yang juga merupakan penggemar Rio. Sungguh ! Ini bukanlah rasa yang tumbuh
karena obsesi. Aku benar-benar mencintai Rio dengan sepenuh hatiku. Saat
pertama kali dia menolongku untuk mengambil buku yang berada di rak paling
tinggi di perpustakaan. Bagi Ify, Rio merupakan malaikat yang dikirimkan oleh
Tuhan kepadanya untuk menolong Ify mengambil buku itu. Malaikat tanpa sayap.
“Ify !” Sudah keempat kalinya Rio
memanggil nama gadis itu, tetapi Ify masih saja bergeming dan menatap wajahnya
dengan sangat serius. Rio mendengus lalu mencubit pipi Ify dengan keras. “Aw !”
Akhirnya Ify kembali tersadar setelah melamun beberapa menit. “Sakit Rio !” Ify
memekik untuk yang kedua kalinya. Pipinya memanas akibat sentuhan tak terduga
dari Rio. Walaupun itu hanya sebuah cubitan, tetapi dapat membuat pipinya
merona dan jantunya berdegup kencang. Rio menggelengkan kepalanya melihat perubahan
ekspresi pada wajah Ify. “Aku ingin cappuccino latte di Caffe seberang sekolah
ini. Tolong belikan.” Rio menyerahkan satu lembar uang lima puluh ribu kepada
Ify, tepat didepan wajahnya. Ify terkesiap lalu dengan sigap Ify menerima uang
yang diberikan Rio. “Satu capucciono latte siap diantar, tuan ! Tunggu ya.
Tujuh menit lagi aku akan kembali membawakannya untukmu !” Ify membungkukkan
tubuhnya lalu dengan tergesa-gesa ia berjalan meninggalkan Rio yang masih duduk
di bibir lapangan basket.
“IFY !” Teriakkan Rio membuat Ify
menghentikan langkahnya. Lalu Ify menoleh ke arah Rio yang sedang
memperhatikannya. “Ada apa ?” Lantas Ify
berlari menghampiri Rio dan berdiri tepat dihadapan Rio. Ia memang sengaja
kembali menghampiri Rio agar tahu tujuan Rio meneriakkan namanya dengan cukup
keras. Dan Ify rasa berbicara dengan cara berteriak itu tidak sopan serta
mengganggu orang lain yang berada disekitarnya. “Belikan juga makanan ringan.
Dan jangan sampai kau menghilangkan busa yang ada pada cappuccino itu-“ Rio
menghela nafas untuk meyakinkan dirinya pada kalimat yang akan ia ucapkan pada
gadis itu. “Dan, hati-hati pada saat menyeberang..” Perkataan Rio barusan
membuat pipi Ify kembali merona dan memanas. Kali ini tidak hanya pipinya saja,
hatinya pun merasakan kehangatan ketika Rio mengatakan pesannya. Ify
menganggukkan kepalanya dengan tegas lalu beranjak pergi meninggalkan Rio untuk
membeli cappuccino dan makanan ringan seperti yang pemuda itu perintahkan.
***
Entah untuk yang keberapa kalinya Rio
melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Sudah dua belas
menit tetapi Ify belum juga kembali. Ah ternyata gadis itu sama saja. Tidak
disiplin terhadap waktu. Dia mengingkari janjinya yang dia ucapkan padanya dua
belas menit yang lalu. Rio tidak marah karena pesanannya belum datang. Justru
ia mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang tepat tiga belas menit setelah Ify
pergi. Hatinya begitu gelisah memikirkan Ify. Rio merasakan ada sesuatu yang
mengganjal di dalam hatinya. Jantungnya pun kembali berdetak dengan cepat. “Kau
terlihat begitu gelisah, Rio..” Alvin yang sedari tadi memperhatikan sahabatnya
akhirnya dia angkat bicara. Rio terbelalak mendengar Alvin berbicara kepadanya.
Sejak kapan Alvin berada disampingnya ? “Bahkan kau tidak menyadari aku ada
disampingmu bukan ?” Alvin terkekeh lalu menepuk pundak Rio. “Aku rasa gadis
itu sedang mengantri untuk mendapatkan cappuccino pesanan mu itu, Rio.” Alvin
kembali berujar agar Rio sedikit tenang. Meyakinkan kepada sahabatnya bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
“RIO !” Gabriel tiba-tiba saja datang
dengan terengah. Pemuda itu menghela nafas lalu menatap Rio sendu. Rio bingung
dengan sikap Gabriel yang menurutnya sedikit aneh. “Ada apa Yel ?” Rio
mengedikkan dagunya menatap Gabriel dengan serius. “Ify. Dia tertabrak mobil
ketika hendak menyebrang ! Dia.. Gadis itu meninggal.” Akhirnya kegelisahan
yang ia rasakan terjawab. Ify meninggal ? Rio menggelengkan kepalanya lalu
segera berlari menuju ke luar lingkungan sekolah.
***
Gabriel benar. Ify meninggal. Dan itu
karenanya. Awalnya Rio tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Gabriel.
Tetapi setelah dirinya menerobos kedalam kerumunan orang-orang dipinggir jalan
raya dekat sekolahnya, dan menemukan Ify tergeletak tak bernyawa dengan darah
segar mengalir dari kepalanya. Rio baru mempercayai Gabriel. Disamping jasad
Ify terdapat satu bungkus makanan ringan dan gelas pelastik yang sudah tidak
berisi. Cairan cappuccino berwarna cokelat yang berasal dari gelas itu bercampur
dengan darah Ify.
Rio meneteskan air matanya. Ia menangis
tanpa suara. Pemuda itu sangat menyesal telah meminta Ify untuk membelikan
cappuccino dan makanan ringan di Caffe seberang sekolahnya. Rio seperti sedang
menonton sebuah film dokumenter sekarang, dengan sebuah layar putih besar yang
menayangkan setiap kejadiannya bersama Ify. Ia mengusap lembut nisan Ify,
membayangkan bahwa nisan itu merupakan kepala Ify yang ditumbuhi dengan rambut
hitamnya yang panjang. “Fy. Apakah kau bahagia disana ?” Kini Rio terisak. “Kau
tahu. Untuk yang pertama kalinya aku menangis demi seorang perempuan. Kau
beruntung Ify..” Rio menghapus air mata
yang mengalir dipermukaan wajahnya. “Setidaknya kau telah membuka pintu hatiku,
Ify..” Rio terkekeh pelan. Ia tertohok oleh perasaannya sendiri. Sekarang apa
yang dapat ia lakukan ? Mengembalikan Ify ? Semuanya hanya angan semata. Ify
sudah pergi. She’s gone, and never come back.
“Baiklah.. Aku akan berubah. Aku akan
menjalani kehidupanku seperti dulu. Apakah kau bisa menungguku disana seperti
kau selalu menungguku disini, Ify ? Aku mencintaimu.” Rio beranjak dari pusara
Ify. Berjalan meninggalkan tempat persemayaman Ify yang terakhir bersama bunga
mawar putih yang ia letakkan diatas pusara Ify.
Tak tahukah Rio bahwa sejak pemuda itu
datang ke persemayaman terakhir Ify terdapat sepasang mata yang terus
memperhatikannya ? Ify. Gadis itu memakai pakaian serba putih dan berdiri tepat
disamping pusaranya. Senyumnya mengembang ketika mendengar setiap pernyataan
yang Rio katakan. Manik matanya menyiratkan kebahagiaan yang tidak dapat dideskripsikan.
“Ya Rio. Aku akan menunggumu..” Lalu sosok Ify hilang bersamaan dengan hembusan
angin lembut.
***
Kalian
tahu ?
Untuk
melupakan seseorang yang pernah singgah dihatimu itu tidak mudah. Apalagi jika
dia telah meninggalkanmu dan tidak akan pernah kembali. Aku selalu percaya
dengan apa yang direncanakan oleh Tuhan itu lebih baik. Maka dari sekarang
jangan pernah menyia-nyiakan semua hal yang berada didekatmu. Terutama bagi
seseorang yang telah mencintaimu dengan sepenuh hati. Karena kehilangan itu akan
benar-benar terasa jika dia telah tiada. Waktu untuk berubah itu sekarang.
Note : Murni buatan saya. Bukan hasil jiplakan -_-
Note : Murni buatan saya. Bukan hasil jiplakan -_-
Komentar
Posting Komentar